Hot Stuff

Sunday, October 4, 2009

:: Ketika Cinta Berbuah Dilema ::



Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya. "Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu.""O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?". "Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali diatas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yg belum menikah. Percakapan2 romantis yg sering ditemukan dalam buku2 pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para lajang yg sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?

Alangkah bahagianya, seorang pemuda yg sejak lama memimpikan obrolan2 romantis akhirnya sampai diterminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yg selama ini menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu kata yg dari dulu terpenjara dihatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku mencintaimu."Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yg telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yg berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu.

Bagi mereka yg masih harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yg terus menggoda.Terkadang, ada pemuda yg tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba2 sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat. Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi diorganisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-nari. "Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini.""Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yg kalem, dia mungkin yg kuharapkan.


"Dan cinta itu hadir. Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yg berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yg harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semakin besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan, Indah. 


Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yg semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yg semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau kondisi belummendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah. 


Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yg dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas. Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yg bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan 4JJ1 sebagai nomor satu dan satu-satunya? Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa meng-eliminir cinta kepada seseorang yg telah menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yg menjauhkan diri dari keridhaan 4JJ1? Untuk apa mempertahankan cinta yg akhirnya membuahkan benci Dzat yg sangat kita harapkan cinta-Nya? Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yg lebih dicintai, 4JJ1 ataukah "dia"? "Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)
Wallahua'lambishowab

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...